Jakarta, PolitikKaltim.com – Badan Pusat Statistik (BPS) melalui Plt. Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti, pada hari Senin (6/5/2024) mengumumkan pertumbuhan ekonomi kuartal pertama tahun 2024 sebesar 5,11% secara year on year (yoy).
Petumbuhan yang cukup agresif di sela-sela kondisi ekonomi global yang sedang challenging dan bahkan di atas perkiraan awal bloomberg.
“Kalau kita cermati, pertumbuhan ekonomi kuartal ini ditopang secara signifikan oleh konsumsi masyarakat,” ucap Ajib Hamdani selaku Analis Kebijakan Ekonomi APINDO, saat Press Release melalui pesan via WhatsApp dengan media politik kaltim, Selasa, (7/5/2024).
Ajib menguraikan, pada masa kuartal ini ada dua momentum, yaitu, lebaran dan kontestasi politik di Pileg dan Pilpres.
Dengan momentum ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sejak awal sudah optimis pertumbuhan ekonomi di atas 5% dan meningkat dibandingkan kuartal terakhir yang menyentuh angka 5,04%.
“Optimisme pelaku usaha dan pemerintah berbanding lurus dengan hasil yang diumumkan BPS,” tegasnya.
Selanjutnya muncul pertanyaan, apakah pertumbuhan ekonomi 5,11% ini sudah maksimal? Jawabannya adalah belum. Karena pada rentang masa ini,
terjadi fluktuasi inflasi yang memberikan tekanan terhadap daya beli masyarakat. Tercatat inflasi kuartal pertama 2024 menyentuh angka 3%. Lebih tinggi dari pada inflasi agregat 2023 yang hanya mencapai angka 2,61%.
“Kalau tren inflasi tidak turun, maka daya beli akan terus mengalami tekanan dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi cenderung tidak sustain,” tambahnya.
Dalam hal ini, dibutuhkan insentif moneter, insentif fiskal, maupun regulasi yang pro dengan pertumbuhan dan pro dengan pemerataan.
Dalam konteks moneter, tingkat suku bunga acuan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia (BI) sebesar 6,25% cenderung tidak ideal dan memerlukan penyesuaian.
“Tingkat suku bunga tinggi akan mengurangi likuiditas di sistem perekonomian dan juga mendorong cost push inflation,” cemas Ajib
Dari sisi fiskal, pemerintah hanya mempunyai ruang yang sangat terbatas pada tahun 2024 ini untuk bisa menopang daya beli masyarakat, kalau hanya misalnya mengandalkan pola konvensional dengan metode Bansos.
Dengan asumsi makro nilai tukar rupiah 15.000 terhadap US dollar dan juga harga minyak US$ 82 per barel, struktur keuangan negara sudah defisit lebih dari 500 triliun atau setara 2,8% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
“Bahkan isu kenaikan tarif PPN awal tahun 2025, juga memberikan tekanan terhadap dunia usaha dan memberikan dampak psikologis naiknya harga barang,” ucapnya
Sedangkan sisi regulasi, harus lebih banyak insentif terhadap industri padat karya. Karena, secara alamiah, investasi yang terus mengalir cenderung investasi padat modal.
Sehingga pencapaian investasi yang selalu over target sejak tahun 2019, tidak diiringi dengan penyerapan tenaga kerja.
“Dari target penyerapan 3 juta tenaga kerja, pada tahun 2023 hanya mampu menyerap 1,8 juta,” tandasnya
Selain faktor moneter, Ajib Hamdani mengatakan, fiskal dan regulasi, pemerintah juga harus melakukan program prioritas hilirisasi yang melibatkan lebih banyak stakeholder dan pelaku ekonomi nasional.
Program hilirisasi ini akan memberikan daya ungkit ekonomi lebih maksimal ketika pemerintah fokus dengan sektor pertanian, perikanan, peternakan dan perkebunan.
“Program hilirisasi yang menjadi bagian komitmen Presiden Jokowi sebagai bagian transformasi ekonomi, harus lebih dikembangkan di era pemerintahan selanjutnya,” kata Ajib.
Melanjutkan, misalkan pemerintah fokus dengan empat hal tersebut, maka pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun 2024 akan terus tereskalasi dan sampai akhir tahun bisa mencapai target secara agregat sebesar 5,2%.
Tetapi, ketika pemerintah tidak memberikan insentif yang tepat sasaran. “Pertumbuhan ekonomi akan mencapai di bawah target, sesuai yang tertuang dalam proyeksi Kerangka Ekonomi Makro,” tutupnya. (*)
Penulis: Hendri
Editor: Tim kreatif media politik kaltim
Berita: Tulisan Press Release Ajib Hamdani
Disetujui oleh: Pimpinan Redaksi