Ajib Hamdani Khawatir Utang Pemerintah di Era Prabowo, Pilih Rasio Utang Jadi 50 Persen atau Defisit Fiskal 0 Persen

Ajib Hamdani Khawatir Utang Pemerintah di Era Prabowo, Pilih Rasio Utang Jadi 50 Persen atau Defisit Fiskal 0 Persen

Politik Kaltim.com – TIM analis kebijakan ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani menyampaikan kekhawatiran terhadap rencana Presiden terpilih di era Prabowo Subianto yang akan menaikkan rasio utang mencapai 50% dari produk domestik bruto (PDB).

Menurutnya, utang pemerintah akan melonjak signifikan hingga menembus Rp10 ribu triliun jika wacana itu terealisasi.

Seperti diketahui, isu kenaikan rasio utang hingga 50% dikemukakan adik kandung Prabowo, Hashim Djojohadikusumo yang menekankan bahwa peningkatan rasio utang ini akan dibarengi dengan peningkatan penerimaan negara.

“Kalau kita melihat data utang negara sementara posisi Bulan April 2024 sudah mencapai 8.338,44 triliun atau setara 38,64% dari PDB, hampir menyentuh batas rasio utang, yang sesuai dengan Undang-undang nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, maksimal rasio utang Indonesia adalah 40% dari PDB, karena produk domestik bruto (PDB) kita sekarang Rp21.000 triliun,” ucap Ajib saat Press Release kepada Media Politik Kaltim, Kamis (11/7/2024).

Di sisi lain, Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tentang penyampaian pandangan atas Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) tahun 2025, Fraksi PDI Perjuangan melalui Edy Wuryanto memberikan catatan bahwa idealnya pengelolaan APBN diarahkan untuk defisit fiskal 0 persen. Artinya, APBN dibiayai semuanya tanpa menambah utang baru.

“Jadi, yang perlu dikaji lebih lanjut, mana yang paling realistis? Menambah rasio utang sampai dengan 50 persen PDB atau mendesain kebijakan defisit fiskal nol persen? Hal mendasar yang perlu dipahami bahwa pengelolaan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) 2025 akan menghadapi tantangan fiskal yang cukup complicated,” ungkap Ajib.

Ajib yang juga menjabat sebagai Dewan pembina BPP HIPMI menyebutkan, paling tidak ada 3 tantangan dari sempitnya ruang fiskal pemerintah, yaitu pertama, jatuh tempo utang tahun 2025 yang mencapai Rp 800,33 triliun, sebagai dampak scarring effect pandemi COVID-19.

“APBN tahun 2026 dan 2027 juga akan menghadapi kondisi utang jatuh tempo yang sama. Dan, negara tidak bisa failed dalam membayar utang,” tegas Ajib.

Kedua, beban komitmen program berkelanjutan tentang Ibu Kota Nusantara (IKN) yang akan menyerap APBN. Seperti diketahui, anggaran pembangunan IKN dialokasikan sebesar Rp 466 triliun.

“Dengan alokasi pembangunan yang sementara bertumpu dengan kekuatan APBN, pemerintah harus tetap mengalokasikan dana khusus agar ritme pembangunan tetap bisa berjalan dengan baik,” ujar Ajib.

Ketiga, program Makan Bergizi Gratis membutuhkan anggaran Rp 400 triliun. Meski demikian, APBN 2025 memutuskan untuk mengalokasikan program populis ini sebesar Rp 71 triliun.

“Untuk tahun-tahun selanjutnya, tentunya program Makan Bergizi Gratis memerlukan alokasi dana yang semakin besar.

Dengan struktur beban yang ada, APBN 2025 bahkan sudah dirancang mengalami defisit di kisaran 2,29 persen sampai dengan 2,82 persen dari PDB,” ujar Ajib.

Kebijakan Defisit Fiskal 0 Persen

Terkait dengan rencana kebijakan defisit fiskal nol persen, Ajib memberikan 3 hal yang bisa dioptimalkan pemerintah. Pertama, peningkatan penerimaan perpajakan.

“Peningkatan penerimaan ini dengan cara pemerintah perlu mengidentifikasi grey economy dan melakukan pemajakan yang tepat sasaran.

Jangan hanya seperti memungut pajak di kebun binatang. Karena hal ini akan kontraproduktif terhadap pertumbuhan ekonomi.

Hal selanjutnya dalam peningkatan perpajakan ini adalah dengan mengurangi tax expenditure secara bertahap. Tahun 2024 ini proyeksi tax expenditure mencapai Rp 374,5 triliun.

Pengelolaan alokasi ini perlu diefisienkan agar bisa menambah kemampuan fiskal secara keseluruhan,” jelas Ajib.

Kedua, peningkatan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Dengan sumber daya yang berlimpah, penerimaan sektor ini bisa lebih ditingkatkan dari target konservatif tahun 2024 yang sebesar Rp 492 triliun.

Ketiga, peningkatan penerimaan dividen dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

“Negara sebagai pemegang saham BUMN harus mempunyai alat ukur atau benchmarking yang ideal terhadap penerimaan dividen. Ukuran kuantitatif yang bisa dipakai adalah berapa return on equity (ROE) dari masing-masing BUMN.

Dengan dividen pada kisaran Rp 80 triliun, tapi kemudian ditarik lagi dalam bentuk Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar lebih dari Rp 40 triliun, berarti kondisi manajemen yang kurang mencerminkan manajemen yang highest and best use,” jelas Ajib.

Ia optimistis, berbagai langkah tersebut realistis untuk dilakukan pemerintah, terlebih saat ini pemerintahan terus berupaya menerapkan good corporate governance (GCG) dan political willingness dengan konsisten.

“Langkah-langkah tersebut bisa menambal defisit fiskal sampai dengan Rp 500 triliun setiap tahun. Jadi, narasi defisit fiskal 0 persen sangat mungkin dilakukan.

Ini menjadi langkah produktif menuju kemandirian ekonomi, dibandingkan narasi tentang peningkatan rasio utang 50 persen dari PDB,” imbuh Ajib. (*)

 

Penulis: Hikmah
Editor: Redaksi Media Politik Kaltim