PolitikKaltim.com – Pieter Brooshooft adalah seorang wartawan belanda yang selama bertahun-tahun menulis tentang hak-hak orang jawa yang harus dilindungi dari kesewenang-wenangan dan ketidakadilan yang menyedihkan akibat kebijakan tanam paksa pemerintah Hindia Belanda, (1845-1921).
Dimulai dari perjalanannya mengelilingi pulau jawa tahun 1887, Pieter Brooshooft melihat bagaimana kondisi rakyat pribumi yang memprihatinkan akibat kebijakan tanam paksa pemerintah Hindia Belanda.
Setelah itu, Pieter Brooshooft menulis laporan tentang kondisi rakyat jawa dan menyampaikannya kepada 12 tokoh politisi terkemuka Belanda.
Laporan tersebut dilengkapi lampiran setebal buku, yang berisi fakta-fakta yang dikumpulkan dan di tandatangani oleh 1255 orang.
Di dalam laporan tersebut, disampaikan tuntutan untuk membentuk partai Hindia agar kepentingan Hindia Belanda dapat terwakili di parlemen.
Bermula dari laporan itulah, Pieter brooshooft mengusulkan kebijakan Politik Etis, dengan harapan pemerintah kolonial akan lebih memperhatikan kesejahteraan para bumiputra yang terbelakang.
Pieter brooshooft menulis pamflet berjudul “Haluan Etis dalam politik kolonial”, yang kemudian menjadi awal mula dikenalnya istilah Politik Etis (Politik Balas Budi).
Namun pieter brooshohft pernah merasakan kecewa dan putus asa pada tahun 1904 dia pulang ke belanda karena merasa perjuangannya terhadap keadilan rakyat pribumi tidak ada hasilnya,
di rujuk dari tajuk rencana terakhir yang di tulis berjudul: Pamitan Dengan Orang Sakit , dimuat dari surat kabar semarang, “De Locomotief”. 31 desember 1903.
Di Belanda, Pieter Brooshooft, tetap rajin menulis, antara lain sebuah naskah pentas: Arm java (kasihan pulau jawa), pada 1906.
Naskah ini dianggap memiliki benang merah dengan eksistensi dan riwatat Kartini. Diceritakan murtinah putri seorang bupati modern yang telah maju,
sering menulis dalam majalah-majalah wanita di Belanda dan mengadakan surat-menyurat dengan teman-teman di negeri itu pula.
Politik Etis
adalah kebijakan kolonial Hindia Belanda (sekarang Indonesia) yang berlangsung selama empat dekade dari tahun 1901 hingga 1942. Pada tanggal 17 September 1901,
Ratu Belanda Wilhelmina mengumumkan bahwa Belanda akan bertanggung jawab secara moral demi kesejahteraan rakyat kolonial mereka.
Kebijakan ini sangat berbeda dengan kebijakan resmi sebelumnya yang memandang Indonesia sebagai wilayah yang menghasilkan keuntungan.
Kebijakan ini juga menandai dimulainya kebijakan pembangunan modern, sementara kekuatan kolonial lainnya menganggap bahwa tugas mereka adalah misi peradaban, yaitu penyebaran budaya mereka kepada orang-orang yang dijajah.
Kebijakan tersebut menekankan pada perbaikan kondisi kehidupan material. Namun, kebijakan ini mengalami kendala karena kurangnya dana yang cukup,
harapan yang terlalu tinggi, serta kurangnya dukungan dalam pembentukan kolonial Belanda. Kebijakan ini sebagian besar lenyap oleh permulaan Depresi Besar pada tahun 1930.
Pemikiran politik etis menyatakan bahwa pemerintah kolonial memiliki tanggung jawab moral terhadap kesejahteraan orang asli.
Pemikiran ini merupakan kritik terhadap kebijakan tanam paksa. Kaum etis yang dipimpin oleh Pieter Brooshooft (wartawan Koran De Locomotief) dan C.Th.
Van Deventer (politikus) membuka mata pemerintah kolonial untuk lebih memperhatikan nasib orang asli yang terbelakang.
Program Politi Etis
Politik Etis adalah program pemikiran kolonial Hindia Belanda yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat kolonial Indonesia dari tahun 1901 hingga 1942. Program ini terdiri dari beberapa program, antara lain:
Irigasi
Program pertama Politik Etis adalah irigasi. Program ini bertujuan membangun fasilitas irigasi untuk meningkatkan kesehatan rakyat Indonesia.
Edukasi
Program kedua Politik Etis adalah edukasi. Melalui program ini, pemerintah Hindia Belanda berusaha meningkatkan kualitas SDM di Indonesia dan mengurangi angka buta huruf di masyarakat.
Namun, pada masa itu hanya kaum laki-laki yang dapat menempuh pendidikan formal.
Berikut adalah beberapa jenis sekolah yang dibangun pada masa itu:
- Hollandsche Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk masyarakat pribumi.
- Europeesche Lagere School (ELS), sekolah dasar untuk anak Eropa dan para pembesar pribumi.
- Hogere Burgerlijk School (HBS), sekolah menengah untuk siswa lulusan ELS.
- Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), sekolah menengah untuk siswa lulusan HIS.
- Algemeene Middelbare School (AMS), sekolah menengah atas untuk siswa lulusan HBS dan MULO.
- School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA), sekolah pendidikan dokter Jawa.
- Recht Hoge School, sekolah hukum.
- Landbouw School, sekolah pertanian.
- Technik Hoghe School, sekolah teknik.
Emigrasi
Program ketiga Politik Etis adalah emigrasi. Program ini bertujuan memeratakan kepadatan penduduk di Indonesia dengan mendirikan pemukiman baru di Sumatera sebagai tempat perpindahan rakyat dari wilayah yang padat penduduknya. Program emigrasi ini mulai aktif pada tahun 1901.
Tokoh Yang Terlibat Politik Etis
Tokoh-tokoh yang Terlibat dalam Politik Etis:
Pieter Brooshooft
Seorang wartawan dan sastrawan Belanda, mengelilingi Jawa pada tahun 1887 dan mendokumentasikan kesengsaraan rakyat pribumi akibat kebijakan tanam paksa.
Ia melaporkan hal tersebut pada 12 polisi Belanda, termasuk dalam bukunya yang berjudul Memorie Over den Toestand in Indie. Meskipun politik etis sudah dirumuskan, ia kecewa dengan penerapannya yang penuh dengan penyimpangan.
Conrad Theodore van Deventer
Ahli hukum Belanda dan pengusaha perkebunan, menulis Een Eereschuld pada tahun 1899, menyatakan bahwa Belanda memiliki hutang kehormatan terhadap masyarakat pribumi Hindia Belanda
atas kekayaan yang diterima dari penderitaan mereka. Ia juga menyelesaikan laporannya mengenai kondisi Hindia Belanda dan mempermasalahkan kebijakan pemerintah.
Edward Douwes Dekker, atau Multatuli
Menulis buku Max Havelaar yang menjelaskan kesengsaraan masyarakat terhimpit di antara kepentingan kolonial Belanda dan penguasa lokal.
Ia mempermasalahkan pemerintah yang seharusnya lebih tegas kepada penguasa lokal dan membangun sistem pemerintahan yang berpihak pada kesejahteraan rakyatnya.
Ernest Douwe Dekker, atau Setiabudi, keturunan dari Edward Douwes Dekker, memperjuangkan kalangan Indo yang terabaikan dalam kebijakan politik etis dan berharap bahwa pendidikan dapat diakses oleh semua kalangan.
Sumber: pasla.jambiprov.go.id, kompas.com, biografi wilkipedia, jernih melihat dunia
Editor: Tim kreatif media politik kaltim
Edisi: Sejarah